Sunday, October 27, 2013

Persami: Dua Tahun dan Sehari Lalu

"Saya sadar ini bukan De Javu. Saya benar-benar berada di sini dan memandang semua mata yang penuh terka dan kira-kira, soal apa yang akan terjadi di detik-detik selanjutnya,"

Sehari yang lalu, Kiarapayung, untuk kesekian kalinya saya tapaki. Tempat yang 2 tahun sebelumnya saya datangi untuk acara yang sama: Persami, Perkemahan Sareng Mahasiswa KPI, terulang lagi. Bedanya? Tentu ada. 2 tahun yang lalu saya datang sebagai peserta, hari kemarin itu saya datang sebagai MC berbaju kaos dan bersepatu crocs yang merangkap divisi publikasi dokumentasi. Perubahan terjadi dimana-mana, bukan? Seiring umur yang mengubah segalanya kian dewasa dan menua.

Persami 2011 diisi Pelantikan BEMJ, bedah buku Tahun Tanpa Tuhan bikinan A Mughni dan inaugurasi sampai pagi. Persami 2013 diisi Joged Cesar-atau siapalah nama dia, saya kurang begitu peduli bahkan soal cara menulis namanya, Forum Sharing BEMJ dan inaugurasi yang masih saja sampai pagi. Degradation, happens everywhere, memang. Meski kemudian ada sisi baiknya dimana lagu-lagu Iwan Fals dinyanyikan oleh KPJ, Komunitas Penyanyi Jalanan, yang rutin didatangkan BEMJ KPI dari acara satu ke yang lainnya.

--

Persami 2011 jadi momentum awal saya mencintai KPI, mengagumi A Mughni dan menerima kenyataan di keluarga inilah saya mesti berjuang menyebrangi ketidakpastian-ketidakpastian dalam hidup. Bahwa dengan Jargon "KPI Dulur!"lah saya akan menjadi mahasiswa baik yang pantang bolos dan menyontek, masuk BEMJ dan jadi aktivis yang bukan cuma hadir secara nama namun juga ide, pemikiran dan gerakan.
Tapi hari kemarin, 2 tahun setelah ekspektasi saya terhadap diri saya, waktu Persami 2013 sedang dinikmati, saya tersadar semua itu konyol. Saya memang menepati janji soal pantang menyontek, tapi saya pernah bolos dengan sadar dan sengaja, melupakan janji masuk BEMJ dan hanya berkontribusi di gerakannya baru-baru ini. Saya menyesal? Tentu. Sebanyak apa? Sebanyak debu goresan di layar ponsel saya.

Di Persami 2013, muncul harapan yang baru. Saya masih punya 1-2 tahun untuk menjadikan harapan saya 2 tahun lalu benar-benar terwujud. Mungkin better late than never adalah benar. Di samping itu, saya bersyukur punya adik-adik tingkat yang banyak dan baik, bersyukur karena Tuhan masih memberi KPI kesempatan untuk berkeluarga lebih besar lagi. Di antara harapan-harapan saya soal saya, hadir harapan-harapan soal mereka, adik-adik saya di KPI itu. Bahwa mereka akan lebih baik dari saya dan bisa mencapai apa-apa yang gagal saya lakukan hingga semester 5 ini.

Monday, October 21, 2013

Ketika Pembantu Rektor III Tak Ada

Jam 9.40 pagi ini, saya menghampiri resepsionis Al-Jamiah dengan 2 buah surat dalam genggaman: satu untuk Pak Rektor, satu lagi untuk Pak Ali, lelaki muda yang menjabat sebagai Pembantu Rektor III. Al-Jamiah sepi, seperti biasa. Setelah basa-basi sedikit dengan pihak resepsionis yang berbaju hitam-hitam, saya mengisi buku tamu dan melangkahkan kaki ke lobi, menuju ruangan Pak Ali. Pihak resepsionis sebenarnya sudah memberitahu saya, Pak Ali tak ada di ruangan. Jadi saya masuk hanya untuk bertemu sekretarisnya, menanyakan mengapa Pak Ali tak ada di jam kerja Hari Senin pascalibur panjang Idul Adha dan menitipkan surat undangan itu.

Waktu masuk, kita langsung berhadapan dengan meja sekretaris, di belakangnya, ada penyekat untuk ruangan khusus Pak Ali. Di bagian ruangan hasil sekatan itulah saya bertemu 2 orang lelaki yang keduanya menghadap komputer. Saya pikir salah satunya adalah sekretaris Pak Ali. Jadi saya bertanya pada lelaki yang mejanya paling dekat pintu masuk.

Lelaki itu bilang, saya boleh bertanya pada siapa saja. Senyum lelaki itu agak menyeringai, mirip senyum tokoh antagonis di sinetron Ind*siar. Alis saya yang tipis agak mengkerut. Saya menangkap ketidakseriusan dalam nada bicaranya dan itu cukup membuat saya sebal. Rasanya kalimat "Sama siapa juga boleh," dengan nada seperti itu tak layak dikatakan seorang Staf Universitas bertitelkan Islam. Mau anggap saya terlalu serius? Silahkan. Toh saya memang datang ke ruangan itu dengan niat serius, untuk pembicaraan serius demi nama Universitas saya juga. Katakanlah saya sensitif, perasa. Terserah. Pokoknya dari awal saya masuk, saya sudah memperlihatkan bahwa saya sedang serius, bukan main-main apalagi mengajak bercanda.

Akhirnya, dengan mengesampingkan kedongkolan-kedongkolan itu dan tanpa lelaki itu persilahkan duduk, saya mengutarakan maksud saya. Lelaki itu menyimak, lelaki di meja duapun turut menyimak. Saya bilang ini memang acara tahunan yang dihadiri Pak Rektor dan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Saya bilang surat undangannya harus saya berikan langsung karena saya diamanati atas kontak konfirmasi semua surat yang saya kirim. Tapi sepertinya kedua lelaki yang menyimak saya itu belum tahu soal program yang saya berikan undangannya itu. Ini tentu berbeda dengan pihak resepsionis yang ketika saya sebut nama instansi dalam program itu, mereka terlihat mendadak mengerti dan mengizinkan saya masuk. Susah kalau begini, batin saya. Niat saya menitipkan surat jadi urung.

Saya membatalkan niat penitipan surat itu, tapi tidak membatalkan niat saya bertanya mengapa Pak Ali tak datang hari ini.
"Hari ini Pak Ali ga hadir, Pak?"
"Ya berhalangan,"
"Ada apa, Pak?"
"Ya, pokoknya berhalangan,"
"Kalo gitu adanya kapan ya, Pak?"
"Saya ga tau,"
"Loh? Bapak kan sekretarisnya?"
"Ya, Pak PR II adanya jam kerja."
"Sekarang jam kerja, Pak."
"..."
"Jadi kalo saya besok kembali lagi buat kasih surat di jam kerja, Pak Ali ada?"
"Ya mana saya tau."
"Kan Bapak sekretarisnya, terus tadi kata Bapak Pak Ali ada di jam kerja?"
"Ya saya gak tau,"

Saya menyampaikan kalimat saya dengan nada yang sama dari awal sampai akhir, dan lelaki itu menyampaikan kalimatnya dengan kian meninggi dari pertama hingga akhir. Saya memang sengaja membuatnya jadi berbelit, tentu karena saya kesal dia sekretaris yang buta jadwal atasan. Saya menyesal karena sempat berpikir sekretaris Pak Ali dapat bekerja sama soal penyampaian surat yang sebenarnya bukan hal besar-besar amat. Akhirnya saya menutup pembicaraan yang membuat gerah itu dengan mengambil surat yang kadung ada di atas meja dan bilang, "Biar saya sampaikan langsung sama Pak PR III, besok di jam kerja kalau memang ada. Terima kasih,"
Dengan tak ikhlas sayapun memberi salam, dan mencoba memberikan senyum paling manis yang saya bisa. Oh, saya munafik. Kemudian tanpa jawaban salam saya, saya melangkah kaki, meninggalkan ruangan sempit itu dengan surat yang utuh. Baru dua langkah dari pintu, saya mendengar kedua lelaki itu terkikik. Hati saya mendadak panas, seperti juga cuaca Bandung siang ini.
---

Bapak PR III, apa Bapak tahu kelakuan staff Bapak pada tamu mahasiswa Bapak? Atau Bapak juga sama saja? Ah Kampus kok segininya.