Sunday, December 1, 2013

Yang Terusir Karena Pembangunan

Mus, bukan nama sebenarnya, menyunggingkan senyum ketika saya datang. Tangannya yang berkerut dan terbakar matahari dengan cekatan mengambil gelas, menuangkan gula dan coklat bubuk. Terakhir, dia menuangkan susu dari ketel besar yang kompornya menyala dari pagi sampai siang.
Saat pembeli datang, itulah aktivitas yang dilakukan Mus, lelaki setengah abad yang menjadi penjual susu murni di UIN SGD Bandung. Kedai yang terdiri dari gerobak, dua bangku persegi panjang dan terpal itu menjadi tempatnya mengais pundi-pundi rupiah.
Aktivitas Mus menunggu dan melayani pembeli, tak begitu berat dibanding aktivitas sebelum subuh yang mewajibkan Mus mengambil susu di Kaki Gunung Manglayang. Mus memaksakan diri mengambil susu setiap hari, dengan motornya yang acapkali ngosngosan. Mus tentu tak ingin membiarkan konsumennya sakit perut meminum susu basi. “Ya biar susunya segar, Neng. Kalo hari ini gak abis, ya saya jual sore di rumah, atau diminum aja,” Mus bicara dengan logat Garut, kota kelahirannya, dengan kental dan lancar saat mengobrol dengan saya, awal Oktober 2013, saat ia dan puluhan Pedagang Kaki Lima (PKL) belum terusir dari lapaknya di UIN SGD Bandung.
Dalam perhitungan Mus, lapaknya telah berpindah 4-5 kali, semuanya dikarenakan pembangunan yang belum juga selesai dari masa jabatan Nanat Fatah Nashir hingga tahun kedua Deddy Ismatullah. Di perpindahannya yang kelima, Mus tak pernah menyangka sebuah surat beraroma lain melayang padanya: Mus dan puluhan PKL lainnya harus pergi sebelum 11 Oktober, jika tidak, pengusiran paksapun akan terjadi. Surat yang melampirkan fotokopi KTP dan tanda tangan bermateraipun membuat Mus geger. Lelaki berambut putih itu tak ingat, kapan ia pernah menyetujui surat semacam itu.
Mus, tentu saja, bukan satu-satunya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terusir. Kurang lebih, ada 23 PKL yang berkumpul di Lapangan Gardu Listrik depan Gedung Kuliah Ushuludin dan 9 PKL yang menggelar lapaknya di sepanjang trotoar sebelah Fakultas Adab dan Humaniora. Usia dagangnya bermacam-macam, dari yang belasan tahun hingga belasan bulan. Namun tentu tak ada satupun yang berniat hengkang menutup lapaknya. Pundi-pundi rupiah harus terus masuk kantong, agar perut terisi dan anak-istri terbiayai.

Janji dari Bima
Sekitar pertengahan Oktober, Mus dan beberapa PKL lainnya pernah melakukan audiensi pada pihak Al-Jamiah. Sayangnya tak ada jajaran birokrat yang turun langsung dan mendengar aspirasi mereka. Para pemegang kuasa itu menumpukan segalanya pada Bima, Petugas Keamanan yang bekerja di Al-Jamiah. Dari Bimalah mereka mendapatkan janji dibolehkan berdagang jika pembangunan telah selesai.
Dalam janji itu, para PKL dikabarkan boleh berjualan setelah pembangunan selesai. Tapi tentu para PKL masih harap-harap cemas dan berdoa semoga janji bukan sekadar janji. Sambil menunggu janji terpenuhi, mau tak mau para PKLpun mengungsi ke lapak kosong di gang kecil sebelah kampus.
Sebelum kepergian Mus, Mus sempat menyatakan keinginannya mendapat tempat yang lebih baik. Mus merasa tak masalah jika harus membayar lebih dari uang harian yang, konon, dikenakan sebagai uang kebersihan. “Ya gak apa-apa kalo dipindahkan lokasinya, asal diberi tempat baru. Bayarnya lebih juga gak apa-apa, asal masih jualan di kampus,” papar Mus. Namun harapan Mus saat ini ditiup angin entah kemana. Mungkin dalam benaknya ia terus bertanya-tanya kapankah harapannya akan kembali ke tanah dimana ia terusir darinya.

                    Menguak Sisi Lain Pengusiran
                Dari isu yang beredar, pengusiran tersebut bukan semata karena penertiban, namun pihak kampus yang menginginkan adanya pemasukan dalam bentuk materi pada pihak kampus, bukan sekedar beberapa ribu uang kebersihan dan keamanan yang masuk ke kantong penjaga kampus.
                “Katanya ada pihak rumah makan besar yang mau buka cabang di UIN. Jadi ya PKL harus nyisi dulu.” ujar Norman, salah satu pengamat kampus yang berstatus Mahasiswa Fakultas Syariah. Meski masih berupa desas-desus, Norman tak meragukan kebenaran isu ini. Secara ekonomis, Norman yakin kerjasama itu akan benar-benar rampung, menilik pemasukan pundi-pundi rupiah yang tak mungkin sedikit ke pihak kampus.

                Norman yang mengaku tak bisa menyalahkan tindakan kampus dalam penggusuran PKLpun hanya bisa berharap, sebagaimana PKL-PKL yang terusir karena pembangunan fisik dan nonfisik UIN Bandung saat ini. “Harapannya semoga yang kecil bisa diberi ruang saja. Kita harus manusiawi dan punya hati, kan?” pungkas Norman mengakhiri.

--
Ini liputan yang ga jadi dipublikasikan. Kenapa ya? Aku lupa.