Ada seorang lelaki yang tinggal dalam cermin setiap perempuan, tak terkecuali cerminku.
Aku seringkali memergokinya keluar-masuk cermin di ruang setrika rumahku. Tipikal lelaki biasa saja, tak terlalu tinggi, tak terlalu pendek, pipinya tirus, matanya menyipit dan pakaiannya selalu rapih.
Waktu aku mengenalnya, ia tak mengatakan namanya padaku. Jadi dengan rasa percaya diri tingkat k(e)satria aku memanggilnya Takur.
Takur suka keluar dari cermin kalau aku bercermin. Ia suka membisikan hal-hal jelek tentang penampilanku---juga penampilan perempuan-perempuan selain aku.
Takur selalu ingin aku membenci mereka, perempuan-perempuan itu.
Ya, meski sebenarnya aku biasa saja. Aku tak mencintai perempuan-perempuan itu, pun tak membenci mereka. Tapi takur? Aku tak mengerti kenapa Takur ingin aku membenci semua perempuan--dan penampilan mereka, tentu saja.
Sampai suatu hari, Takur mengatakan padaku, mereka bisa saja merenggut apa-apa yang sudah aku miliki. Aku bersikeras mengatakan pada Takur kalau aku sebetulnya tak memiliki apa-apa untuk direbut oleh perempuan-perempuan itu. Tapi Takur ternyata lebih keras kepala dari yang aku bayangkan, ia bilang aku cuma tak menyadari, atau sadar tapi tak bersyukur.
Aku seringkali memergokinya keluar-masuk cermin di ruang setrika rumahku. Tipikal lelaki biasa saja, tak terlalu tinggi, tak terlalu pendek, pipinya tirus, matanya menyipit dan pakaiannya selalu rapih.
Waktu aku mengenalnya, ia tak mengatakan namanya padaku. Jadi dengan rasa percaya diri tingkat k(e)satria aku memanggilnya Takur.
Takur suka keluar dari cermin kalau aku bercermin. Ia suka membisikan hal-hal jelek tentang penampilanku---juga penampilan perempuan-perempuan selain aku.
Takur selalu ingin aku membenci mereka, perempuan-perempuan itu.
Ya, meski sebenarnya aku biasa saja. Aku tak mencintai perempuan-perempuan itu, pun tak membenci mereka. Tapi takur? Aku tak mengerti kenapa Takur ingin aku membenci semua perempuan--dan penampilan mereka, tentu saja.
Sampai suatu hari, Takur mengatakan padaku, mereka bisa saja merenggut apa-apa yang sudah aku miliki. Aku bersikeras mengatakan pada Takur kalau aku sebetulnya tak memiliki apa-apa untuk direbut oleh perempuan-perempuan itu. Tapi Takur ternyata lebih keras kepala dari yang aku bayangkan, ia bilang aku cuma tak menyadari, atau sadar tapi tak bersyukur.