Thursday, September 15, 2011

Tentang Takur!

Ada seorang lelaki yang tinggal dalam cermin setiap perempuan, tak terkecuali cerminku.
Aku seringkali memergokinya keluar-masuk cermin di ruang setrika rumahku. Tipikal lelaki biasa saja, tak terlalu tinggi, tak terlalu pendek, pipinya tirus, matanya menyipit dan pakaiannya selalu rapih.

Waktu aku mengenalnya, ia tak mengatakan namanya padaku. Jadi dengan rasa percaya diri tingkat k(e)satria aku memanggilnya Takur.

Takur suka keluar dari cermin kalau aku bercermin. Ia suka membisikan hal-hal jelek tentang penampilanku---juga penampilan perempuan-perempuan selain aku.
Takur selalu ingin aku membenci mereka, perempuan-perempuan itu.
Ya, meski sebenarnya aku biasa saja. Aku tak mencintai perempuan-perempuan itu, pun tak membenci mereka. Tapi takur? Aku tak mengerti kenapa Takur ingin aku membenci semua perempuan--dan penampilan mereka, tentu saja.

Sampai suatu hari, Takur mengatakan padaku, mereka bisa saja merenggut apa-apa yang sudah aku miliki. Aku bersikeras mengatakan pada Takur kalau aku sebetulnya tak memiliki apa-apa untuk direbut oleh perempuan-perempuan itu. Tapi Takur ternyata lebih keras kepala dari yang aku bayangkan, ia bilang aku cuma tak menyadari, atau sadar tapi tak bersyukur.

Monday, September 12, 2011

Dari Mayu, Pada Ejja

Sewaktu dulu kita jatuh cinta pada layangan----lalu pada diri kita satu sama lain.

Dan setiap ada kesempatan, kita selalu bermain dengan layangan---seperti kita bermain dengan cinta---tarik ulur seenaknya.





Layanganmu selalu lebih tinggi,

dari punyaku
:

Mungkin cintamu juga begitu.

(atau tidak?) Entahlah.

Wednesday, September 7, 2011

Bubur Kacang Merah

"Setiap ulat harus jadi kupu-kupu bersayap, nantinya mereka akan bisa terbang, atau tak bisa terbang, tak masalah. Asal mereka pernah berkepompong, asal mereka pernah berusaha, jadi lebih baik dan lebih indah dari sebelumnya. Jika ada ulat yang tak mau, itu artinya ulat itu ulat mati!"

Ejja mengatakan itu sesaat sebelum ia mulai berkendara angin dan tergeletak begitu saja di genteng rumah orang. Ya, Ejja melompat dari jendela. Entah kenapa.

Mungkin ia cuma iseng kurang kerjaan dan bingung hendak lakukan apa. Mungkin ia sedang sakit hati dan mencoba bunuh diri. Mungkin ia kurang hati-hati dan terpeleset tak sengaja. Mungkin juga ia sumpek tinggal di kamar, kamarku yang berantakan. Atau itu juga mungkin, kalau ia cuma mengetes besar kadar keberaniannya.
Tapi ya. Entahlah, segalanya, mungkin.


Dulu, Ejja memang pernah meloncat dari jendela juga, mau bunuh diri, katanya.
Tapi Ejja tak benar-benar mati, cuma kotor. Ejja sangat terpukul atas kegagalan bunuh dirinya. Ejja merasa ia sudah cukup matang membuat perhitungan rencana bunuh diri itu. Di catatannya Ejja menulis, "Minimal aku mati dalam keadaan otak terburai----meski sebenarnya aku tak punya otak." begitulah. Tapi kenyataan memang berpihak padaku yang seringkali membutuhkan Ejja. Sekali lagi, aku ulangi. Ejja tak mati, cuma kotor.


Pun, tadi ketika Ejja, untuk kedua kalinya yang entah sebabnya apa meloncat dari jendela, lagi--lagi Ejja tak mati, cuma kotor.

Dan sekarang, Ejja sedang berguling-guling di meja belajar. Pitanya baru diganti, jadi kuning terang----untuk meyakinkannya ia tak akan kehilangan warna secerah matahari. Sedari selamat dari lompatan tadi Ejja cuma mau berguling-guling sambil memegangi tali pitanya tanpa suara. Ejja tak mau bicara, meski aku terus-terusan bertanya kenapa.
Mungkin Ejja memang mau merahasiakannya sementara, untuk suatu saat menjawab pertanyaan kenapa milikku.

Atau mungkin, tidak. Lalu ia biarkan kenapa milikku jadi membatu.
Ah, Ejja.