Wednesday, September 2, 2015

Halo, kamu!

Tadi pagi, sebelum ke kantor, saya dengan 3 lembar kertas HVS dan resi pembayaran wisuda yang bikin nyesek karena mahal dan tidak jelas, nyasar di Al-Jamiah. Saya merutuk-rutuk betapa bloonnya karena nyasar di gedung yang gak gede-gede banget dan pernah belasan--atau puluhan?--kali saya tapaki buat memburu data dari pejabat untuk Suaka. Iya, saya daftar wisuda untuk tanggal 13 September nanti dan rasanya... Biasa aja. Eh, tapi seneng sih dikit.

Setelah kuliah selama tepat 4 tahun, dengan dosa-dosa bolos, ga mengerjakan tugas dan terlambat masuk, seminar judul di detik-detik terakhir, bimbingan skripsi kurang dari 12 dan gak bawa draft buat sidang tanggal 27 Agustus kemarin, akhirnya lulus juga. Gimana rasanya cumlaude 3,64? Degdegan, karena kata Rama, temen se-Suaka dan temen sekantor sekarang, setelah ini kami resmi jadi buruh seutuhnya. Hahaha.

Sunday, February 2, 2014

Ketika Saya Mengenal Lasi

Masa kecil dan masa remaja saya boleh dibilang berhiaskan kisah-kisah perempuan cantik yang punya akhir cerita bahagia. Aurora dalam Sleeping Beauty, Belle dalam Beauty and The Best, Rapunzel dalam Tangled, dan lainnya, menghiasi masa kecil saya. Fiona dalam Promises Promises, Mel dalam Brownies, Ketty dalam Kitten Heels dan lainnya, menghiasi masa remaja saya.
Semuanya perempuan cantik, semuanya punya akhir cerita yang indah.
                Kali ini, cerita yang saya baca masih tentang perempuan cantik. Lasi namanya. Perempuan ini dikenalkan Ahmad Tohari lewat Bekisar Merah yang terbit tahun 2011 lalu, namun baru saya selami kisahnya di cetakan kedua, Maret tahun lalu.

Sunday, December 1, 2013

Yang Terusir Karena Pembangunan

Mus, bukan nama sebenarnya, menyunggingkan senyum ketika saya datang. Tangannya yang berkerut dan terbakar matahari dengan cekatan mengambil gelas, menuangkan gula dan coklat bubuk. Terakhir, dia menuangkan susu dari ketel besar yang kompornya menyala dari pagi sampai siang.
Saat pembeli datang, itulah aktivitas yang dilakukan Mus, lelaki setengah abad yang menjadi penjual susu murni di UIN SGD Bandung. Kedai yang terdiri dari gerobak, dua bangku persegi panjang dan terpal itu menjadi tempatnya mengais pundi-pundi rupiah.
Aktivitas Mus menunggu dan melayani pembeli, tak begitu berat dibanding aktivitas sebelum subuh yang mewajibkan Mus mengambil susu di Kaki Gunung Manglayang. Mus memaksakan diri mengambil susu setiap hari, dengan motornya yang acapkali ngosngosan. Mus tentu tak ingin membiarkan konsumennya sakit perut meminum susu basi. “Ya biar susunya segar, Neng. Kalo hari ini gak abis, ya saya jual sore di rumah, atau diminum aja,” Mus bicara dengan logat Garut, kota kelahirannya, dengan kental dan lancar saat mengobrol dengan saya, awal Oktober 2013, saat ia dan puluhan Pedagang Kaki Lima (PKL) belum terusir dari lapaknya di UIN SGD Bandung.
Dalam perhitungan Mus, lapaknya telah berpindah 4-5 kali, semuanya dikarenakan pembangunan yang belum juga selesai dari masa jabatan Nanat Fatah Nashir hingga tahun kedua Deddy Ismatullah. Di perpindahannya yang kelima, Mus tak pernah menyangka sebuah surat beraroma lain melayang padanya: Mus dan puluhan PKL lainnya harus pergi sebelum 11 Oktober, jika tidak, pengusiran paksapun akan terjadi. Surat yang melampirkan fotokopi KTP dan tanda tangan bermateraipun membuat Mus geger. Lelaki berambut putih itu tak ingat, kapan ia pernah menyetujui surat semacam itu.
Mus, tentu saja, bukan satu-satunya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terusir. Kurang lebih, ada 23 PKL yang berkumpul di Lapangan Gardu Listrik depan Gedung Kuliah Ushuludin dan 9 PKL yang menggelar lapaknya di sepanjang trotoar sebelah Fakultas Adab dan Humaniora. Usia dagangnya bermacam-macam, dari yang belasan tahun hingga belasan bulan. Namun tentu tak ada satupun yang berniat hengkang menutup lapaknya. Pundi-pundi rupiah harus terus masuk kantong, agar perut terisi dan anak-istri terbiayai.

Janji dari Bima
Sekitar pertengahan Oktober, Mus dan beberapa PKL lainnya pernah melakukan audiensi pada pihak Al-Jamiah. Sayangnya tak ada jajaran birokrat yang turun langsung dan mendengar aspirasi mereka. Para pemegang kuasa itu menumpukan segalanya pada Bima, Petugas Keamanan yang bekerja di Al-Jamiah. Dari Bimalah mereka mendapatkan janji dibolehkan berdagang jika pembangunan telah selesai.
Dalam janji itu, para PKL dikabarkan boleh berjualan setelah pembangunan selesai. Tapi tentu para PKL masih harap-harap cemas dan berdoa semoga janji bukan sekadar janji. Sambil menunggu janji terpenuhi, mau tak mau para PKLpun mengungsi ke lapak kosong di gang kecil sebelah kampus.
Sebelum kepergian Mus, Mus sempat menyatakan keinginannya mendapat tempat yang lebih baik. Mus merasa tak masalah jika harus membayar lebih dari uang harian yang, konon, dikenakan sebagai uang kebersihan. “Ya gak apa-apa kalo dipindahkan lokasinya, asal diberi tempat baru. Bayarnya lebih juga gak apa-apa, asal masih jualan di kampus,” papar Mus. Namun harapan Mus saat ini ditiup angin entah kemana. Mungkin dalam benaknya ia terus bertanya-tanya kapankah harapannya akan kembali ke tanah dimana ia terusir darinya.

                    Menguak Sisi Lain Pengusiran
                Dari isu yang beredar, pengusiran tersebut bukan semata karena penertiban, namun pihak kampus yang menginginkan adanya pemasukan dalam bentuk materi pada pihak kampus, bukan sekedar beberapa ribu uang kebersihan dan keamanan yang masuk ke kantong penjaga kampus.
                “Katanya ada pihak rumah makan besar yang mau buka cabang di UIN. Jadi ya PKL harus nyisi dulu.” ujar Norman, salah satu pengamat kampus yang berstatus Mahasiswa Fakultas Syariah. Meski masih berupa desas-desus, Norman tak meragukan kebenaran isu ini. Secara ekonomis, Norman yakin kerjasama itu akan benar-benar rampung, menilik pemasukan pundi-pundi rupiah yang tak mungkin sedikit ke pihak kampus.

                Norman yang mengaku tak bisa menyalahkan tindakan kampus dalam penggusuran PKLpun hanya bisa berharap, sebagaimana PKL-PKL yang terusir karena pembangunan fisik dan nonfisik UIN Bandung saat ini. “Harapannya semoga yang kecil bisa diberi ruang saja. Kita harus manusiawi dan punya hati, kan?” pungkas Norman mengakhiri.

--
Ini liputan yang ga jadi dipublikasikan. Kenapa ya? Aku lupa.

Sunday, October 27, 2013

Persami: Dua Tahun dan Sehari Lalu

"Saya sadar ini bukan De Javu. Saya benar-benar berada di sini dan memandang semua mata yang penuh terka dan kira-kira, soal apa yang akan terjadi di detik-detik selanjutnya,"

Sehari yang lalu, Kiarapayung, untuk kesekian kalinya saya tapaki. Tempat yang 2 tahun sebelumnya saya datangi untuk acara yang sama: Persami, Perkemahan Sareng Mahasiswa KPI, terulang lagi. Bedanya? Tentu ada. 2 tahun yang lalu saya datang sebagai peserta, hari kemarin itu saya datang sebagai MC berbaju kaos dan bersepatu crocs yang merangkap divisi publikasi dokumentasi. Perubahan terjadi dimana-mana, bukan? Seiring umur yang mengubah segalanya kian dewasa dan menua.

Persami 2011 diisi Pelantikan BEMJ, bedah buku Tahun Tanpa Tuhan bikinan A Mughni dan inaugurasi sampai pagi. Persami 2013 diisi Joged Cesar-atau siapalah nama dia, saya kurang begitu peduli bahkan soal cara menulis namanya, Forum Sharing BEMJ dan inaugurasi yang masih saja sampai pagi. Degradation, happens everywhere, memang. Meski kemudian ada sisi baiknya dimana lagu-lagu Iwan Fals dinyanyikan oleh KPJ, Komunitas Penyanyi Jalanan, yang rutin didatangkan BEMJ KPI dari acara satu ke yang lainnya.

--

Persami 2011 jadi momentum awal saya mencintai KPI, mengagumi A Mughni dan menerima kenyataan di keluarga inilah saya mesti berjuang menyebrangi ketidakpastian-ketidakpastian dalam hidup. Bahwa dengan Jargon "KPI Dulur!"lah saya akan menjadi mahasiswa baik yang pantang bolos dan menyontek, masuk BEMJ dan jadi aktivis yang bukan cuma hadir secara nama namun juga ide, pemikiran dan gerakan.
Tapi hari kemarin, 2 tahun setelah ekspektasi saya terhadap diri saya, waktu Persami 2013 sedang dinikmati, saya tersadar semua itu konyol. Saya memang menepati janji soal pantang menyontek, tapi saya pernah bolos dengan sadar dan sengaja, melupakan janji masuk BEMJ dan hanya berkontribusi di gerakannya baru-baru ini. Saya menyesal? Tentu. Sebanyak apa? Sebanyak debu goresan di layar ponsel saya.

Di Persami 2013, muncul harapan yang baru. Saya masih punya 1-2 tahun untuk menjadikan harapan saya 2 tahun lalu benar-benar terwujud. Mungkin better late than never adalah benar. Di samping itu, saya bersyukur punya adik-adik tingkat yang banyak dan baik, bersyukur karena Tuhan masih memberi KPI kesempatan untuk berkeluarga lebih besar lagi. Di antara harapan-harapan saya soal saya, hadir harapan-harapan soal mereka, adik-adik saya di KPI itu. Bahwa mereka akan lebih baik dari saya dan bisa mencapai apa-apa yang gagal saya lakukan hingga semester 5 ini.

Monday, October 21, 2013

Ketika Pembantu Rektor III Tak Ada

Jam 9.40 pagi ini, saya menghampiri resepsionis Al-Jamiah dengan 2 buah surat dalam genggaman: satu untuk Pak Rektor, satu lagi untuk Pak Ali, lelaki muda yang menjabat sebagai Pembantu Rektor III. Al-Jamiah sepi, seperti biasa. Setelah basa-basi sedikit dengan pihak resepsionis yang berbaju hitam-hitam, saya mengisi buku tamu dan melangkahkan kaki ke lobi, menuju ruangan Pak Ali. Pihak resepsionis sebenarnya sudah memberitahu saya, Pak Ali tak ada di ruangan. Jadi saya masuk hanya untuk bertemu sekretarisnya, menanyakan mengapa Pak Ali tak ada di jam kerja Hari Senin pascalibur panjang Idul Adha dan menitipkan surat undangan itu.

Waktu masuk, kita langsung berhadapan dengan meja sekretaris, di belakangnya, ada penyekat untuk ruangan khusus Pak Ali. Di bagian ruangan hasil sekatan itulah saya bertemu 2 orang lelaki yang keduanya menghadap komputer. Saya pikir salah satunya adalah sekretaris Pak Ali. Jadi saya bertanya pada lelaki yang mejanya paling dekat pintu masuk.

Lelaki itu bilang, saya boleh bertanya pada siapa saja. Senyum lelaki itu agak menyeringai, mirip senyum tokoh antagonis di sinetron Ind*siar. Alis saya yang tipis agak mengkerut. Saya menangkap ketidakseriusan dalam nada bicaranya dan itu cukup membuat saya sebal. Rasanya kalimat "Sama siapa juga boleh," dengan nada seperti itu tak layak dikatakan seorang Staf Universitas bertitelkan Islam. Mau anggap saya terlalu serius? Silahkan. Toh saya memang datang ke ruangan itu dengan niat serius, untuk pembicaraan serius demi nama Universitas saya juga. Katakanlah saya sensitif, perasa. Terserah. Pokoknya dari awal saya masuk, saya sudah memperlihatkan bahwa saya sedang serius, bukan main-main apalagi mengajak bercanda.

Akhirnya, dengan mengesampingkan kedongkolan-kedongkolan itu dan tanpa lelaki itu persilahkan duduk, saya mengutarakan maksud saya. Lelaki itu menyimak, lelaki di meja duapun turut menyimak. Saya bilang ini memang acara tahunan yang dihadiri Pak Rektor dan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Saya bilang surat undangannya harus saya berikan langsung karena saya diamanati atas kontak konfirmasi semua surat yang saya kirim. Tapi sepertinya kedua lelaki yang menyimak saya itu belum tahu soal program yang saya berikan undangannya itu. Ini tentu berbeda dengan pihak resepsionis yang ketika saya sebut nama instansi dalam program itu, mereka terlihat mendadak mengerti dan mengizinkan saya masuk. Susah kalau begini, batin saya. Niat saya menitipkan surat jadi urung.

Saya membatalkan niat penitipan surat itu, tapi tidak membatalkan niat saya bertanya mengapa Pak Ali tak datang hari ini.
"Hari ini Pak Ali ga hadir, Pak?"
"Ya berhalangan,"
"Ada apa, Pak?"
"Ya, pokoknya berhalangan,"
"Kalo gitu adanya kapan ya, Pak?"
"Saya ga tau,"
"Loh? Bapak kan sekretarisnya?"
"Ya, Pak PR II adanya jam kerja."
"Sekarang jam kerja, Pak."
"..."
"Jadi kalo saya besok kembali lagi buat kasih surat di jam kerja, Pak Ali ada?"
"Ya mana saya tau."
"Kan Bapak sekretarisnya, terus tadi kata Bapak Pak Ali ada di jam kerja?"
"Ya saya gak tau,"

Saya menyampaikan kalimat saya dengan nada yang sama dari awal sampai akhir, dan lelaki itu menyampaikan kalimatnya dengan kian meninggi dari pertama hingga akhir. Saya memang sengaja membuatnya jadi berbelit, tentu karena saya kesal dia sekretaris yang buta jadwal atasan. Saya menyesal karena sempat berpikir sekretaris Pak Ali dapat bekerja sama soal penyampaian surat yang sebenarnya bukan hal besar-besar amat. Akhirnya saya menutup pembicaraan yang membuat gerah itu dengan mengambil surat yang kadung ada di atas meja dan bilang, "Biar saya sampaikan langsung sama Pak PR III, besok di jam kerja kalau memang ada. Terima kasih,"
Dengan tak ikhlas sayapun memberi salam, dan mencoba memberikan senyum paling manis yang saya bisa. Oh, saya munafik. Kemudian tanpa jawaban salam saya, saya melangkah kaki, meninggalkan ruangan sempit itu dengan surat yang utuh. Baru dua langkah dari pintu, saya mendengar kedua lelaki itu terkikik. Hati saya mendadak panas, seperti juga cuaca Bandung siang ini.
---

Bapak PR III, apa Bapak tahu kelakuan staff Bapak pada tamu mahasiswa Bapak? Atau Bapak juga sama saja? Ah Kampus kok segininya.

Sunday, September 29, 2013

Berpulang: Tandi Skober

Dada saya sesak lagi. Seperti yang dulu terasa waktu menulis tentang Pak Moko.

Di Fesbuk, saya baru berteman dengan seseorang yang bernama Tandi Skober, belum satu bulan yang lalu. Ia nampak sebagai penulis kawakan yang tulisan seriusnya dimuat di media-media besar yang menasional. Bodohnya saya, saya tidak terlalu sering mendengar nama dia.

Malam ini, jam 9.17, 29 Oktober 2013, saya membaca status Pak Budhiana, Pemred PR yang saya langgani di Fesbuk.
"Selamat jalan Mas Tandi Skober. Innalillaahi wa inna ilaihi rojiun..."

Saya tercekat. Iyakah Tandi Skober telah berpulang? Padahal baru beberapa jam lalu akun atas namanya mempublikasikan arsip cerpennya yang dimuat di Lampung Post.
Jiwa stalking saya berontak. Memaksa saya melihat posting-posting di bawahnya dengan seksama. Untungnya Pak Tandi bukan orang yang tak suka berbagi keadaan pribadi, jadi melalui postingannya yang agak bawah, saya tau dia memang sedang sakit. Demam, sekitar itulah.

Mendadak saya merasa kehilangan. Kenapa mesti mereka yang baru saja mau saya dekati, pergi atau menghilang? Saya jadi teringat Putu Wijaya, yang berhenti ngetwit beberapa hari setelah saya baru tahu dan follow Twitternya. Kenapa saya terlambat dan cuma bisa sok rela?
Tapi ya sudah. Itu toh cuma pandangan pragmatis dan ego yang bicara. Biarlah Tuhan yang punya rencana dan menjalankannya.

Semoga Tandi-Tandi baru sudah siap meneruskan perjuangan.
Selamat beristirahat, semoga tenang dan bahagia.
Suatu saat, semuanya akan menyusul Bapak juga.

Wednesday, July 17, 2013

Pak Moko di Otak Saya Siang Ini

Uluh hati saya sakit. Apa itu Radiologi Intervensi? Sakit apa? Separah apa? Sejak kapan?
---

Seolah ada pertanyaan-pertanyaan yang dijejalkan dari telinga ke syaraf-syaraf otak. Tapi kemudian pertanyaan-pertanyaan itu terantuk "Apakah semua hal punya dan perlu penjelasan?", yang diposkan Eko Endarmoko di statusnya, 2009 lalu. Pertanyaan-pertanyaan saya, tentu punya penjelasan. Iya, mereka pasti punya. Tapi antukan serupa kerikil itu bukan pada kata "punya", melainkan pada