Jam 9.40 pagi ini, saya menghampiri resepsionis Al-Jamiah dengan 2 buah surat dalam genggaman: satu untuk Pak Rektor, satu lagi untuk Pak Ali, lelaki muda yang menjabat sebagai Pembantu Rektor III. Al-Jamiah sepi, seperti biasa. Setelah basa-basi sedikit dengan pihak resepsionis yang berbaju hitam-hitam, saya mengisi buku tamu dan melangkahkan kaki ke lobi, menuju ruangan Pak Ali. Pihak resepsionis sebenarnya sudah memberitahu saya, Pak Ali tak ada di ruangan. Jadi saya masuk hanya untuk bertemu sekretarisnya, menanyakan mengapa Pak Ali tak ada di jam kerja Hari Senin pascalibur panjang Idul Adha dan menitipkan surat undangan itu.
Waktu masuk, kita langsung berhadapan dengan meja sekretaris, di belakangnya, ada penyekat untuk ruangan khusus Pak Ali. Di bagian ruangan hasil sekatan itulah saya bertemu 2 orang lelaki yang keduanya menghadap komputer. Saya pikir salah satunya adalah sekretaris Pak Ali. Jadi saya bertanya pada lelaki yang mejanya paling dekat pintu masuk.
Lelaki itu bilang, saya boleh bertanya pada siapa saja. Senyum lelaki itu agak menyeringai, mirip senyum tokoh antagonis di sinetron Ind*siar. Alis saya yang tipis agak mengkerut. Saya menangkap ketidakseriusan dalam nada bicaranya dan itu cukup membuat saya sebal. Rasanya kalimat "Sama siapa juga boleh," dengan nada seperti itu tak layak dikatakan seorang Staf Universitas bertitelkan Islam. Mau anggap saya terlalu serius? Silahkan. Toh saya memang datang ke ruangan itu dengan niat serius, untuk pembicaraan serius demi nama Universitas saya juga. Katakanlah saya sensitif, perasa. Terserah. Pokoknya dari awal saya masuk, saya sudah memperlihatkan bahwa saya sedang serius, bukan main-main apalagi mengajak bercanda.
Akhirnya, dengan mengesampingkan kedongkolan-kedongkolan itu dan tanpa lelaki itu persilahkan duduk, saya mengutarakan maksud saya. Lelaki itu menyimak, lelaki di meja duapun turut menyimak. Saya bilang ini memang acara tahunan yang dihadiri Pak Rektor dan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Saya bilang surat undangannya harus saya berikan langsung karena saya diamanati atas kontak konfirmasi semua surat yang saya kirim. Tapi sepertinya kedua lelaki yang menyimak saya itu belum tahu soal program yang saya berikan undangannya itu. Ini tentu berbeda dengan pihak resepsionis yang ketika saya sebut nama instansi dalam program itu, mereka terlihat mendadak mengerti dan mengizinkan saya masuk. Susah kalau begini, batin saya. Niat saya menitipkan surat jadi urung.
Saya membatalkan niat penitipan surat itu, tapi tidak membatalkan niat saya bertanya mengapa Pak Ali tak datang hari ini.
"Hari ini Pak Ali ga hadir, Pak?"
"Ya berhalangan,"
"Ada apa, Pak?"
"Ya, pokoknya berhalangan,"
"Kalo gitu adanya kapan ya, Pak?"
"Saya ga tau,"
"Loh? Bapak kan sekretarisnya?"
"Ya, Pak PR II adanya jam kerja."
"Sekarang jam kerja, Pak."
"..."
"Jadi kalo saya besok kembali lagi buat kasih surat di jam kerja, Pak Ali ada?"
"Ya mana saya tau."
"Kan Bapak sekretarisnya, terus tadi kata Bapak Pak Ali ada di jam kerja?"
"Ya saya gak tau,"
Saya menyampaikan kalimat saya dengan nada yang sama dari awal sampai akhir, dan lelaki itu menyampaikan kalimatnya dengan kian meninggi dari pertama hingga akhir. Saya memang sengaja membuatnya jadi berbelit, tentu karena saya kesal dia sekretaris yang buta jadwal atasan. Saya menyesal karena sempat berpikir sekretaris Pak Ali dapat bekerja sama soal penyampaian surat yang sebenarnya bukan hal besar-besar amat. Akhirnya saya menutup pembicaraan yang membuat gerah itu dengan mengambil surat yang kadung ada di atas meja dan bilang, "Biar saya sampaikan langsung sama Pak PR III, besok di jam kerja kalau memang ada. Terima kasih,"
Dengan tak ikhlas sayapun memberi salam, dan mencoba memberikan senyum paling manis yang saya bisa. Oh, saya munafik. Kemudian tanpa jawaban salam saya, saya melangkah kaki, meninggalkan ruangan sempit itu dengan surat yang utuh. Baru dua langkah dari pintu, saya mendengar kedua lelaki itu terkikik. Hati saya mendadak panas, seperti juga cuaca Bandung siang ini.
---
Bapak PR III, apa Bapak tahu kelakuan staff Bapak pada tamu mahasiswa Bapak? Atau Bapak juga sama saja? Ah Kampus kok segininya.
Waktu masuk, kita langsung berhadapan dengan meja sekretaris, di belakangnya, ada penyekat untuk ruangan khusus Pak Ali. Di bagian ruangan hasil sekatan itulah saya bertemu 2 orang lelaki yang keduanya menghadap komputer. Saya pikir salah satunya adalah sekretaris Pak Ali. Jadi saya bertanya pada lelaki yang mejanya paling dekat pintu masuk.
Lelaki itu bilang, saya boleh bertanya pada siapa saja. Senyum lelaki itu agak menyeringai, mirip senyum tokoh antagonis di sinetron Ind*siar. Alis saya yang tipis agak mengkerut. Saya menangkap ketidakseriusan dalam nada bicaranya dan itu cukup membuat saya sebal. Rasanya kalimat "Sama siapa juga boleh," dengan nada seperti itu tak layak dikatakan seorang Staf Universitas bertitelkan Islam. Mau anggap saya terlalu serius? Silahkan. Toh saya memang datang ke ruangan itu dengan niat serius, untuk pembicaraan serius demi nama Universitas saya juga. Katakanlah saya sensitif, perasa. Terserah. Pokoknya dari awal saya masuk, saya sudah memperlihatkan bahwa saya sedang serius, bukan main-main apalagi mengajak bercanda.
Akhirnya, dengan mengesampingkan kedongkolan-kedongkolan itu dan tanpa lelaki itu persilahkan duduk, saya mengutarakan maksud saya. Lelaki itu menyimak, lelaki di meja duapun turut menyimak. Saya bilang ini memang acara tahunan yang dihadiri Pak Rektor dan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan. Saya bilang surat undangannya harus saya berikan langsung karena saya diamanati atas kontak konfirmasi semua surat yang saya kirim. Tapi sepertinya kedua lelaki yang menyimak saya itu belum tahu soal program yang saya berikan undangannya itu. Ini tentu berbeda dengan pihak resepsionis yang ketika saya sebut nama instansi dalam program itu, mereka terlihat mendadak mengerti dan mengizinkan saya masuk. Susah kalau begini, batin saya. Niat saya menitipkan surat jadi urung.
Saya membatalkan niat penitipan surat itu, tapi tidak membatalkan niat saya bertanya mengapa Pak Ali tak datang hari ini.
"Hari ini Pak Ali ga hadir, Pak?"
"Ya berhalangan,"
"Ada apa, Pak?"
"Ya, pokoknya berhalangan,"
"Kalo gitu adanya kapan ya, Pak?"
"Saya ga tau,"
"Loh? Bapak kan sekretarisnya?"
"Ya, Pak PR II adanya jam kerja."
"Sekarang jam kerja, Pak."
"..."
"Jadi kalo saya besok kembali lagi buat kasih surat di jam kerja, Pak Ali ada?"
"Ya mana saya tau."
"Kan Bapak sekretarisnya, terus tadi kata Bapak Pak Ali ada di jam kerja?"
"Ya saya gak tau,"
Saya menyampaikan kalimat saya dengan nada yang sama dari awal sampai akhir, dan lelaki itu menyampaikan kalimatnya dengan kian meninggi dari pertama hingga akhir. Saya memang sengaja membuatnya jadi berbelit, tentu karena saya kesal dia sekretaris yang buta jadwal atasan. Saya menyesal karena sempat berpikir sekretaris Pak Ali dapat bekerja sama soal penyampaian surat yang sebenarnya bukan hal besar-besar amat. Akhirnya saya menutup pembicaraan yang membuat gerah itu dengan mengambil surat yang kadung ada di atas meja dan bilang, "Biar saya sampaikan langsung sama Pak PR III, besok di jam kerja kalau memang ada. Terima kasih,"
Dengan tak ikhlas sayapun memberi salam, dan mencoba memberikan senyum paling manis yang saya bisa. Oh, saya munafik. Kemudian tanpa jawaban salam saya, saya melangkah kaki, meninggalkan ruangan sempit itu dengan surat yang utuh. Baru dua langkah dari pintu, saya mendengar kedua lelaki itu terkikik. Hati saya mendadak panas, seperti juga cuaca Bandung siang ini.
---
Bapak PR III, apa Bapak tahu kelakuan staff Bapak pada tamu mahasiswa Bapak? Atau Bapak juga sama saja? Ah Kampus kok segininya.
1 comment:
Pantai Sawarna
Pantai Indrayanti
Pantai Klayar
Pantai Kuta
Pantai Anyer
Pantai Pangandaran
Pantai Ngobaran
Post a Comment