Dada saya sesak lagi. Seperti yang dulu terasa waktu menulis tentang Pak Moko.
Di Fesbuk, saya baru berteman dengan seseorang yang bernama Tandi Skober, belum satu bulan yang lalu. Ia nampak sebagai penulis kawakan yang tulisan seriusnya dimuat di media-media besar yang menasional. Bodohnya saya, saya tidak terlalu sering mendengar nama dia.
Malam ini, jam 9.17, 29 Oktober 2013, saya membaca status Pak Budhiana, Pemred PR yang saya langgani di Fesbuk.
"Selamat jalan Mas Tandi Skober. Innalillaahi wa inna ilaihi rojiun..."
Saya tercekat. Iyakah Tandi Skober telah berpulang? Padahal baru beberapa jam lalu akun atas namanya mempublikasikan arsip cerpennya yang dimuat di Lampung Post.
Jiwa stalking saya berontak. Memaksa saya melihat posting-posting di bawahnya dengan seksama. Untungnya Pak Tandi bukan orang yang tak suka berbagi keadaan pribadi, jadi melalui postingannya yang agak bawah, saya tau dia memang sedang sakit. Demam, sekitar itulah.
Mendadak saya merasa kehilangan. Kenapa mesti mereka yang baru saja mau saya dekati, pergi atau menghilang? Saya jadi teringat Putu Wijaya, yang berhenti ngetwit beberapa hari setelah saya baru tahu dan follow Twitternya. Kenapa saya terlambat dan cuma bisa sok rela?
Tapi ya sudah. Itu toh cuma pandangan pragmatis dan ego yang bicara. Biarlah Tuhan yang punya rencana dan menjalankannya.
Semoga Tandi-Tandi baru sudah siap meneruskan perjuangan.
Selamat beristirahat, semoga tenang dan bahagia.
Suatu saat, semuanya akan menyusul Bapak juga.
Di Fesbuk, saya baru berteman dengan seseorang yang bernama Tandi Skober, belum satu bulan yang lalu. Ia nampak sebagai penulis kawakan yang tulisan seriusnya dimuat di media-media besar yang menasional. Bodohnya saya, saya tidak terlalu sering mendengar nama dia.
Malam ini, jam 9.17, 29 Oktober 2013, saya membaca status Pak Budhiana, Pemred PR yang saya langgani di Fesbuk.
"Selamat jalan Mas Tandi Skober. Innalillaahi wa inna ilaihi rojiun..."
Saya tercekat. Iyakah Tandi Skober telah berpulang? Padahal baru beberapa jam lalu akun atas namanya mempublikasikan arsip cerpennya yang dimuat di Lampung Post.
Jiwa stalking saya berontak. Memaksa saya melihat posting-posting di bawahnya dengan seksama. Untungnya Pak Tandi bukan orang yang tak suka berbagi keadaan pribadi, jadi melalui postingannya yang agak bawah, saya tau dia memang sedang sakit. Demam, sekitar itulah.
Mendadak saya merasa kehilangan. Kenapa mesti mereka yang baru saja mau saya dekati, pergi atau menghilang? Saya jadi teringat Putu Wijaya, yang berhenti ngetwit beberapa hari setelah saya baru tahu dan follow Twitternya. Kenapa saya terlambat dan cuma bisa sok rela?
Tapi ya sudah. Itu toh cuma pandangan pragmatis dan ego yang bicara. Biarlah Tuhan yang punya rencana dan menjalankannya.
Semoga Tandi-Tandi baru sudah siap meneruskan perjuangan.
Selamat beristirahat, semoga tenang dan bahagia.
Suatu saat, semuanya akan menyusul Bapak juga.