Wednesday, September 7, 2011

Bubur Kacang Merah

"Setiap ulat harus jadi kupu-kupu bersayap, nantinya mereka akan bisa terbang, atau tak bisa terbang, tak masalah. Asal mereka pernah berkepompong, asal mereka pernah berusaha, jadi lebih baik dan lebih indah dari sebelumnya. Jika ada ulat yang tak mau, itu artinya ulat itu ulat mati!"

Ejja mengatakan itu sesaat sebelum ia mulai berkendara angin dan tergeletak begitu saja di genteng rumah orang. Ya, Ejja melompat dari jendela. Entah kenapa.

Mungkin ia cuma iseng kurang kerjaan dan bingung hendak lakukan apa. Mungkin ia sedang sakit hati dan mencoba bunuh diri. Mungkin ia kurang hati-hati dan terpeleset tak sengaja. Mungkin juga ia sumpek tinggal di kamar, kamarku yang berantakan. Atau itu juga mungkin, kalau ia cuma mengetes besar kadar keberaniannya.
Tapi ya. Entahlah, segalanya, mungkin.


Dulu, Ejja memang pernah meloncat dari jendela juga, mau bunuh diri, katanya.
Tapi Ejja tak benar-benar mati, cuma kotor. Ejja sangat terpukul atas kegagalan bunuh dirinya. Ejja merasa ia sudah cukup matang membuat perhitungan rencana bunuh diri itu. Di catatannya Ejja menulis, "Minimal aku mati dalam keadaan otak terburai----meski sebenarnya aku tak punya otak." begitulah. Tapi kenyataan memang berpihak padaku yang seringkali membutuhkan Ejja. Sekali lagi, aku ulangi. Ejja tak mati, cuma kotor.


Pun, tadi ketika Ejja, untuk kedua kalinya yang entah sebabnya apa meloncat dari jendela, lagi--lagi Ejja tak mati, cuma kotor.

Dan sekarang, Ejja sedang berguling-guling di meja belajar. Pitanya baru diganti, jadi kuning terang----untuk meyakinkannya ia tak akan kehilangan warna secerah matahari. Sedari selamat dari lompatan tadi Ejja cuma mau berguling-guling sambil memegangi tali pitanya tanpa suara. Ejja tak mau bicara, meski aku terus-terusan bertanya kenapa.
Mungkin Ejja memang mau merahasiakannya sementara, untuk suatu saat menjawab pertanyaan kenapa milikku.

Atau mungkin, tidak. Lalu ia biarkan kenapa milikku jadi membatu.
Ah, Ejja.

No comments: