Monday, March 12, 2012

An Evening When She Came




"I found her in my room that evening.
The unpredictable present.
It was so suprising
for me.

She stood up by the closed window.
I couldn't see her face, but I knew,

she been crying
along day.."


Ruth di kusen jendela kamar saya

Tiba-tiba Ruth muncul di kamar saya. Tanpa sms, tanpa email, tanpa surat atau apapun sebelumnya. Saya terkejut, tapi tetap menyambutnya dengan hangat. Saya merasa, sebagai, perempuan, Ruth selalu punya beban yang tak bisa ia hadapi sendirian.

Kemungkinan besar Ruth datang untuk bercerita, soal betapa heningnya hari-hari yang
dilaluinya tanpa Ejja. Soal betapa kosongnya shalat shubuh tanpa imam sefasih suami yang pernah ditinggalkannya. Soal betapa sebalya sarapan atau makan malam sendirian. Atau soal sebab mengapa ia tiba-tiba mengenalkan lelaki itu pada Ejja, lalu tiba-tiba tanpa alasan jelas memutuskan pergi--yang ia bilang adalah untuk--selamanya.

Tapi hari ini Ruth datang, dengan seribu bisu yang bertengger di ujung kerudungnya, juga dengan tangis, yang tak nenjelaskan apa-apa kecuali luka.

Lama menunggu, 17 halaman habis sudah dibaca. Ruth tak juga bicara. Tak menoleh. Tak membalas sapaan.

Iyakah ia tak mau diganggu? Lalu untuk apa ia datang sesore ini ke kamarku? Membawa tangis, memakai kerudungnya lagi, berdiri di tempat Ejja saat Ejja sedang tak ada.
Tidakkah wajar ada tanya tercecer disana?

No comments: