Sunday, February 2, 2014

Ketika Saya Mengenal Lasi

Masa kecil dan masa remaja saya boleh dibilang berhiaskan kisah-kisah perempuan cantik yang punya akhir cerita bahagia. Aurora dalam Sleeping Beauty, Belle dalam Beauty and The Best, Rapunzel dalam Tangled, dan lainnya, menghiasi masa kecil saya. Fiona dalam Promises Promises, Mel dalam Brownies, Ketty dalam Kitten Heels dan lainnya, menghiasi masa remaja saya.
Semuanya perempuan cantik, semuanya punya akhir cerita yang indah.
                Kali ini, cerita yang saya baca masih tentang perempuan cantik. Lasi namanya. Perempuan ini dikenalkan Ahmad Tohari lewat Bekisar Merah yang terbit tahun 2011 lalu, namun baru saya selami kisahnya di cetakan kedua, Maret tahun lalu.
                Lasi diceritakan sebagai perempuan Karangsoga, desa kecil yang riuh dengan para penyadap melarat. Hidup Lasi jauh dari kemewahan dunia, lingkungan sosial Lasi bahkan tega  melabelinya anak haram karena ayahnya bukan seorang pribumi. Kesan pedih yang melingkupi Lasi sejak dalam kandungan ini yang barangkali menjadi pembeda Lasi dengan tokoh-tokoh cantik yang saya kenal sebelumnya.
Belum selesai dengan label anak haram, Lasi ditimpa label lain yang menyayat kehidupan cintanya: perawan tua. Lasi baru menikah saat usianya 20, beda 6 tahun dengan perempuan-perempuan Karangsoga lainnya. Bukan karena Lasi tak menarik hati lelaki-lelaki Karangsoga, namun karena asal-usul Lasi yang dianggap cacatlah Lasi sulit mendapatkan jodoh. Darsa, penyadap yang juga keponakan ayahnyalah yang akhirnya mengawini Lasi.
Lasi, meski cantik, harus berjuang sebagaimana perempuan-perempuan di Karangsoga, mengolah nira, memotong kayu dan menyalakan tungku. Darsa sama melaratnya dengan penyadap lain, maka hidup Lasi tetap melarat. Namun kali ini Lasi hanya melarat raga, karena saat ia bersama suaminya, jiwanya penuh dan kaya.
Laju hidup Lasi yang meski tanpa harta namun bahagia ini tak bisa saya katakan sebagai hal yang istimewa. Saya memang setuju soal cinta yang membuat segalanya jadi indah dan tak ternilai, namun untuk sebuah alur cerita, di halaman awal saya kecewa. Ahmad Tohari bisa saya katakan sukses membuat tokoh perempuan kampung yang sederhana, tapi sukses juga membuat penokohan yang bikin saya merasa tak perlu mmembelalakan mata. Untung keadaan ini tidak berlangsung lama, saya kembali diajak meluncur dengan terusannya.
Malang bagi Lasi, kebahagiaan bersama Darsa hanya bertahan sebentar. Darsa seolah menikamkan belati di dada Lasi saat seantero kampung tahu, Darsa menyemai bibit di rahim perempuan lain. Bukan karena perempuan itu lebih cantik, melainkan karena kebodohan Darsa yang masuk perangkap piciknya Bunek, dukun beranak di Karangsoga.
                Hari-hari Lasi yang penuh luka kemudian tak bisa ia tahan lagi. Bersama truk penghantar gula, Lasi memutuskan lari ke Jakarta, menghindari Darsa dan orang sekampung yang terus memojokannya. Lasi tentu tak mengira keputusan ini justru membawanya pada label yang baru: Bekisar Merah, yang cantik dan langka.
                Lasi kemudian jatuh ke tangan Handarbeni, purnawirawan kaya raya yang memanjakannya dengan harta yang berlimpah ruah, melebihi apa saja yang sanggup diberikan Karangsoga untuknya. Sementara Kanjat, lelaki sepermainannya dulu waktu kanak-kanak, telah lulus jadi insinyur. Ia mengejar cinta Lasi ke Jakarta. Lasi sebenarnya menyimpan perasaan yang sama pada anak pemilik perkulakan gula paling besar di Karangsoga itu. Sedari dulu, semasa Lasi kanak-kanak. Kanjatpun tak jauh berbeda, itulah mengapa ia nekat menyusul Lasi ke Jakarta.
                Lasi masih perempuan Karangsoga yang pemalu, sederhana dan tahu terima kasih. Meski ia sudah bercerai dengan Darsa, cintanya dan cinta Kanjat tak mungkin ia perjuangkan. Halangannya? Handarbeni, ditambah status sosialnya yang tak sebanding dengan Kanjat. Maka jadilah Lasi menerima kenyataan itu dengan lapang dada, menerima Handarbeni yang sudah lapuk dimakan usia meski hatinya meronta.
Di tengah kepasrahan Lasi, Handarbeni malah menceraikannya untuk dihadiahkan pada Bambung, seorang makelar jabatan kelas kakap. Di masa peralihan dari Handarbeni ke Bambung inilah Lasi sempat melarikan diri dan menikah secara agama dengan Kanjat. Namun di tengah-tengah perjuangannya bersama Kanjat, Bambung berhasil menemukan Lasi dan menyeret perempuan yang tengah mengandung anak Kanjat itu kembali ke Jakarta.
                Konflik ini menggiring ingatan saya pada roman picisan sering yang tayang di televisi, yang alurnya mudah ditebak. Saya rasa saya tidak perlu membeberkan akhir ceritanya. Cinta yang mendobrak batas status sosial dan ekonomi, yang menebas kekuasaan-kekuasaan di atas harta dan tahta, adalah hal-hal yang saya pikir tak terlalu istimewa dalam dunia fiksi.

                Bekisar Merah boleh jadi saya golongkan dalam novel yang membedah perempuan, romantisme dan kekuasaan. Dalam hal yang romantis dan perempuan, misalnya, Ahmad Tohari sudah dengan gamblang menyajikannya di bagian awal. Personifikasi pohon kelapa yang dimisalkan seorang perempuan yang ayu dan gemulai, menjadi pembuka yang lugas. Tidak ada kesan menutupi bahwa nantinya Ahmad Tohari akan menggiring kita pada cerita yang lebih nyalang. Terlepas dari itu, Ahmad Tohari tetap harus dilabeli pandai membuat nilai cerita jadi seimbang. Tentu banyak pesan keagamaan dan moral yang didapat dari kisah Lasi yang berujung bahagia seperti kisah putri-putri negeri dongeng.