Hari ini saya menjemput Tuwi di sekolahnya. Sekitar 30 menit menunggu,
siswi kelas 2 SD berambut pendek itu meneriakan nama saya dari seberang
parkiran, “Mbak atuuuu..” teriaknya lantang. Beberapa orang menoleh, sedang
saya cuma menepuk jidat. Dasar anak kecil,
batin saya.
Tuwi itu anak yang lucu, cerdas juga. Tingginya mungkin 1 meter, atau
lebih. Kakak dari saudara kembar ini, aslinya bernama Trully Shafwa Winarno.
Dipanggil Tuwi, atau Kakak Tuwi karena dia yang menginginkan dipanggil begitu.
Sepulang menjemput Tuwi, saya mampir cukup lama di rumahnya. Lalu
sekitar jam 4, saya pulang. Baru sampai di Cinunuk, saya menerima SMS dari
nomor tak dikenal: “Ratu keluar rumah dong,” SMS ini cukup membuat saya kaget.
Saya membalas 2 kali, soal siapa dan memberitahukan kalau saya masih di jalan.
Tak ada balasan. Akhirnya saya memasukan ponsel saya ke dalam tas karena sore
itu mulai hujan.
Beberapa menit kemudian, Ka Godi, kaka senior saya di Suaka, mengsms
saya, isinya tentang ajakan mampir ke Podomoro, sebuah kedai dari ayaman dekat
jalan Cilengkrang. Ka Godi juga bilang, di sana banyak anak-anak. Sayangnya
hari itu saya harus mengangkat jemuran, memasak nasi buat makan malam, juga
mengeringkan diri saya yang basah kehujanan. Saya membalasnya dengan tidak
bisa.
Kira-kira 100M dari rumah saya, ponsel saya berdering lagi, nomor Ka
Godi memanggil. Saya menekan answer button dan mendengar suara Teh Nirra, kaka
senior saya di Suaka juga, bicara di seberang sana. Isinya sama, ke Podomoro
sekarang. Akhirnya, sesampai di depan rumah, saya malah melewatinya dan
melanjutkan perjalanan ke Podomoro yang jaraknya mungkin sekitas 3 atau 4 KM.
Sesampainya di sana, cardigan dan kaos helter neck saya sedikit kuyup.
Kaos kaki, sepatu dan rok saya juga sama, bedanya hanya mereka punya
bercak-bercak dari lumpur di jalan. Begitu meminta maaf keterlambatan, duduk
dan menatapi mangkuk-mangkuk kosong, saya langsung dipesankan es campur dan
merasa kebingungan. Podomoro tidak punya minuman hangat. Hari yang cantik, batin saya.
Akhirnya, kami ngobrol-ngobrol kesana kemari, soal film Korea—yang
saya kurang mengerti, yang sedang diputar di TV kedai itu, soal bilingual
school, soal ayah Ka Godi, soal kacamata optik dan rengrengannya, soal tipe
perempuannya Salman dan Ka Godi, pokoknya kesana kemari sekali.
Menjelang
maghrib, saya pulang. Dan membekam diri saya selama beberapa saat di kamar
tanpa menyalakan lampu. Saya menarik selimut sampai kepala, dingin dari kaos
saya yang belum kering menyelinap. Tapi saya sedang merasa dekat sekali dengan
kesepian, jadi saya biarkan. Dalam kondisi kedekatan dengan rasa sepi, saya
tiba-tiba teringat percakapan saya dengan seorang teman, Sansan namanya.
|
Pic from Tumblr |
“Ah,
bukannya kamu juga kadang-kadang suka pengen sendirian ya, Ra?”
“Engga ko.
Kalo aku lagi sendirian atau menghindar dari ramai, sebenarnya itu bukan mau
aku,” bantah saya.
Kira-kira
begitulah percakapannya. Saya tak pernah benar-benar mau sendirian, sebelumnya. Tapi
menjelang maghrib ini saya benar-benar ingin mendekati kesepian, saling menyapa
dengannya dan bicara kenapa saya dan sepi ucapkali berjumpa saat saya tak
ingin. Tapi rupa-rupanya saat ini si sepi sedang tak enak badan dan kepingin
istirahat tanpa cakap. Jadi saya meninggalkan kamar dan mengganti baju basah
saya lekas-lekas.
Adzan
menggema, sebelum wudlu saya sempat mengirim pesan pada lelaki yang ada bunga
matahari di matanya: “Maghriban dulu. Pulang jam berapa hari ini? =)” Tidak ada jawaban.
Akhir-akhir ini selalu begitu. Sepi-sepi saja. Mungkin inilah
alasan kenapa sore ini saya mendekati sepi, mencoba mengakrabinya, juga memulai
percakapan yang belasan tahun tidak saya inginkan. Mungkin, beberapa saat ke
depan saya memang harus bersahabat dengan sepi, menjalin hubungan yang romantis
biar saya bahagia meski berkubang di dalamnya. =)