Menyamakan persepsi yang disodorkan rasio dan emosi memang tidak mudah, bahkan beberapa kalangan menyebutnya tidak mungkin. Kecuali objek dari keduanya sama-sama memiliki dasar yang sama, atau paling tidak, mendekati sama. Beranjak dari sebuah pernyataan Rizky Sopiyandi, kakak tingkat di PTN tempat saya berkuliah, bahwa tidak ada dewasa dalam ukuran mini, saya tiba-tiba jadi punya ratusan pertanyaan yang ucapkali menggema, membentur-bentur lorong-lorong buntu otak saya.
Apa dewasa itu? Seperti apa?
Kenapa bisa dewasa?
Apa bagusnya? Apa jeleknya?
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu sampai sekarang masih enggan saya jawab. Entah karena kesakralan kata "dewasa" itu membuat saya sedikit lebih sensitif ketika memperhitungkan definisi apa dan bagaimana yang harus saya cari dan upayakan sebenarnya.Entah juga karena pikiran saya terlampau sempit. Sehingga tanya-tanya itu hanya membentur-bentur dinding-dinding batok kepala saya tanpa menemukan saluran yang tepat untuk bermuara pada jawaban yang dinantikannya.
"Sudahlah, kamu terlalu capek, Rara.. Matamu berkantung-kantung, menghitam. Kulit wajahmu jadi tak kencang lagi. Kamu lupa menyisir rambutmu setiap hari, lupa membereskan kamar yang kamu huni sendiri.. Berhentilah menjadi abstrak. Berhentilah terlalu idealis. Berhentilah jadi budak dari ambisimu mulai saat ini!" Ejja meracau setiap malam. Kata-katanya masuk ke telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Saya mulai jatuh kasihan pada Ejja. Sedang Ejja, dari dulu sudah jatuh kasihan pada saya: Kita berdua saling mengasihani!
Saya sendiri sudah tak tabu lagi dinilai sebagai anak kecil. Sebagian besar orang sudah sering mengatakannya, meski ada juga yang mengatakan jauh dari tanggapan mereka: "Kamu sudah dewasa sebelum waktunya, Rara..". Tapi itu seloroh zaman dulu. Yang dilafalkan orang-orang ketika saya masih berseragam biru atau abu.
Ya, mungkin tingkat kedewasaan saya memang tak bertambah (atau bahkan berkurang?) atau orang lain tiba-tiba jadi terlalu cepat jadi dewasa?
Ah!
Mengeluh lagi. Tapi iyakah dewasa punya tingkatan? Iyakah dewasa punya liter ukuran? Entah. Jawabnya selalu entah. Tak capekkah? :(
Saya memang anak kecil---jika memang statement Kang Rizky benar. Saya memang anak kecil, yang masih suka bermain seenaknya. Membuang makanan. Malas belajar. Tak bisa dandan. Tak bisa disetting biar terlihat lebih elegan.
Tapi ya sudah. Saya ya saya..
:)
Sumpah deh, terlepas dari itu semua, saya tak pernah beranggapan sedikitpun kalo anak kecil--semacam saya--kerjaannya cuma main. I mean, hello! Anak kecil juga punya dinamika tersendiri dalam hidupnya, dan saya menghargai itu.
Karena kenapa?
Guys, children were really playing, really be real without lying. Really crying for reasons.. Really do what they wanna do, refusing and accepting depends with their hearts. MEREKA TANPA MANIPULASI---seperti kita selama ini.
Iya, kan?
Mylove Salvia @My Home |
No comments:
Post a Comment