"Nangis aja lagi. Aku juga suka nangis ko.."
Kalimat itu saya ucapkan kemarin sore, pas jam segini banget, seusai kertas ujian PMDI dibungkus rapih lalu dibawa pengawas entah kemana. Kalimat itu buat teman saya, yang pas hujan kemarin, di matanya menggenang air yang lama gak tumpah juga. Saya rasa, gak apa-apa kalo dia mau menangis. Jadi saya bilang gitu, sama dia.
Ujungnya tertebak, air matanya tumpah juga.Dia bener-bener menangis, di koridor kelas. Sampai sekarang saya gak tau jelas dia kenapa dan apa sebab dia nekat nangis di muka umum. Prediksi saya, dia nangis karena pacarnya. Kemungkinannya 60%, meski dia tetap bungkam dan ga cerita apa-apa. Lalu saya? Akhirnya cuma menemani dia menangis. Itu saja.
Di tengah sesegukannya, banyak teman lain yang datang, menepuk pundaknya dan bilang
"Udah, udah.. Jangan nangis.".
Mereka, teman-teman yang lewat, menepuk pundak teman saya dan bilang "jangan nangis" sedikit saya marahi."Gak apa-apa nangis. Siapa tau bikin tenang," imbuh saya sambil melihat ke langit yang hujannya tak reda juga.
Si teman-teman yang datang, menepuk dan bilang jangan nangis lalu pergi ini, kebanyakan orang yang pengertian, makanya mereka ga protes lagi setelah saya bilang begitu. Mungkin mereka setuju, menangis bisa meringankan dan bikin hati agak tenang. Tentu saja meski iya, menangis tak bikin masalah selesai dan bikin hidung kita merah. Ituu, sebenarnya adalah cerita lain.
Saya, sesudah agak lama menemani tangisnya, dengan rasa sok tahu akhirnya memutuskan bicara:
"Aku gak tau ya, kamu nangis karena apa. Tapi kalo karena dia, menurut aku, kamu harus yakin kalo dia (aku sebut nama pacarnya) itu orang baik."
Dia, teman saya itu, menoleh ke saya dan tersenyum sini, terus dia bilang,
"Orang baik ga bakal biarin ceweknya nangis."
"
Lho? Justru laki-laki baik membiarkan ceweknya nangis. Nangis itu kan proses. Proses nerima rasa sakit biar kebal, proses supaya kita lebih kuat."
Teman saya diam, dia mengalihkan pandangannya, saya juga, tak lagi memandang dia.
"
Nangis ada biar terasa adanya ketawa yang jadi simbol bahagia. Sama kayak yang jahat ada biar yang baik itu terasa," tambah saya.
Penambahan ini, justru bukan saya tujukan pada teman saya, meski dia mendengarkan, tapi lebih saya tekankan pada diri saya sendiri, meyakinkan diri saya sendiri.
Tapi akhirnya, teman saya itu tersenyum, entah turut menghibur saya yang malah larut dengan diri saya sendiri, atau entah dia setuju.