Mus, bukan
nama sebenarnya, menyunggingkan senyum ketika saya datang. Tangannya yang
berkerut dan terbakar matahari dengan cekatan mengambil gelas, menuangkan gula
dan coklat bubuk. Terakhir, dia menuangkan susu dari ketel besar yang kompornya
menyala dari pagi sampai siang.
Saat pembeli
datang, itulah aktivitas yang dilakukan Mus, lelaki setengah abad yang menjadi
penjual susu murni di UIN SGD Bandung. Kedai yang terdiri dari gerobak, dua
bangku persegi panjang dan terpal itu menjadi tempatnya mengais pundi-pundi rupiah.
Aktivitas
Mus menunggu dan melayani pembeli, tak begitu berat dibanding aktivitas sebelum
subuh yang mewajibkan Mus mengambil susu di Kaki Gunung Manglayang. Mus
memaksakan diri mengambil susu setiap hari, dengan motornya yang acapkali ngosngosan. Mus tentu tak ingin
membiarkan konsumennya sakit perut meminum susu basi. “Ya biar susunya segar,
Neng. Kalo hari ini gak abis, ya saya jual sore di rumah, atau diminum aja,”
Mus bicara dengan logat Garut, kota kelahirannya, dengan kental dan lancar saat
mengobrol dengan saya, awal Oktober 2013, saat ia dan puluhan Pedagang Kaki
Lima (PKL) belum terusir dari lapaknya di UIN SGD Bandung.
Dalam
perhitungan Mus, lapaknya telah berpindah 4-5 kali, semuanya dikarenakan
pembangunan yang belum juga selesai dari masa jabatan Nanat Fatah Nashir hingga
tahun kedua Deddy Ismatullah. Di perpindahannya yang kelima, Mus tak pernah
menyangka sebuah surat beraroma lain melayang padanya: Mus dan puluhan PKL
lainnya harus pergi sebelum 11 Oktober, jika tidak, pengusiran paksapun akan
terjadi. Surat yang melampirkan fotokopi KTP dan tanda tangan bermateraipun
membuat Mus geger. Lelaki berambut putih itu tak ingat, kapan ia pernah
menyetujui surat semacam itu.
Mus, tentu
saja, bukan satu-satunya Pedagang Kaki Lima (PKL) yang terusir. Kurang lebih,
ada 23 PKL yang berkumpul di Lapangan Gardu Listrik depan Gedung Kuliah
Ushuludin dan 9 PKL yang menggelar lapaknya di sepanjang trotoar sebelah
Fakultas Adab dan Humaniora. Usia dagangnya bermacam-macam, dari yang belasan
tahun hingga belasan bulan. Namun tentu tak ada satupun yang berniat hengkang
menutup lapaknya. Pundi-pundi rupiah harus terus masuk kantong, agar perut
terisi dan anak-istri terbiayai.
Janji dari Bima
Sekitar
pertengahan Oktober, Mus dan beberapa PKL lainnya pernah melakukan audiensi
pada pihak Al-Jamiah. Sayangnya tak ada jajaran birokrat yang turun langsung
dan mendengar aspirasi mereka. Para pemegang kuasa itu menumpukan segalanya
pada Bima, Petugas Keamanan yang bekerja di Al-Jamiah. Dari Bimalah mereka
mendapatkan janji dibolehkan berdagang jika pembangunan telah selesai.
Dalam janji
itu, para PKL dikabarkan boleh berjualan setelah pembangunan selesai. Tapi
tentu para PKL masih harap-harap cemas dan berdoa semoga janji bukan sekadar
janji. Sambil menunggu janji terpenuhi, mau tak mau para PKLpun mengungsi ke
lapak kosong di gang kecil sebelah kampus.
Sebelum
kepergian Mus, Mus sempat menyatakan keinginannya mendapat tempat yang lebih
baik. Mus merasa tak masalah jika harus membayar lebih dari uang harian yang,
konon, dikenakan sebagai uang kebersihan. “Ya gak apa-apa kalo dipindahkan
lokasinya, asal diberi tempat baru. Bayarnya lebih juga gak apa-apa, asal masih
jualan di kampus,” papar Mus. Namun harapan Mus saat ini ditiup angin entah
kemana. Mungkin dalam benaknya ia terus bertanya-tanya kapankah harapannya akan
kembali ke tanah dimana ia terusir darinya.
Menguak
Sisi Lain Pengusiran
Dari isu yang beredar,
pengusiran tersebut bukan semata karena penertiban, namun pihak kampus yang
menginginkan adanya pemasukan dalam bentuk materi pada pihak kampus, bukan
sekedar beberapa ribu uang kebersihan dan keamanan yang masuk ke kantong
penjaga kampus.
“Katanya ada pihak rumah makan
besar yang mau buka cabang di UIN. Jadi ya PKL harus nyisi dulu.” ujar Norman,
salah satu pengamat kampus yang berstatus Mahasiswa Fakultas Syariah. Meski
masih berupa desas-desus, Norman tak meragukan kebenaran isu ini. Secara
ekonomis, Norman yakin kerjasama itu akan benar-benar rampung, menilik
pemasukan pundi-pundi rupiah yang tak mungkin sedikit ke pihak kampus.
Norman yang mengaku tak bisa
menyalahkan tindakan kampus dalam penggusuran PKLpun hanya bisa berharap,
sebagaimana PKL-PKL yang terusir karena pembangunan fisik dan nonfisik UIN
Bandung saat ini. “Harapannya semoga yang kecil bisa diberi ruang saja. Kita harus
manusiawi dan punya hati, kan?” pungkas Norman mengakhiri.
--
Ini liputan yang ga jadi dipublikasikan. Kenapa ya? Aku lupa.