Wednesday, December 19, 2012

Stalking dan Socmed: Sakit yang Menjadi Candu



Baiklah.
Saya akan bikin pengakuan kalau selama ini saya suka nyetalkerin beberapa orang di beberapa socmed.
Bukan tanpa alasan ya,
kebanyakan mereka saya stalkerin karena tulisannya bagus dan bikin
saya lebih ngeh sama dunia di balik jendela,
yang gak pernah saya kaji ada apa
di baliknya.



Dimulai dari Facebook

Akun Facebook saya dibikin sekitar tahun 2008, waktu saya masih SMP kelas 3. Saya tau jejaring ini dari seorang teman yang saya kenal di Friendster, Ka Yusuf namanya. Saya gak tau apa Ka Yusuf ini masih jadi teman saya di Facebook atau engga, soalnya saya pernah beberapa kali melakukan pembersihkan akun bernamakan ‘alay’ dari friendlist saya (hehehe).  Ya sudahlah ya, ga penting.



Stalking via Facebook ini dimulai dengan kenalnya saya dengan seorang mahasiswa Jurusan Gizi Masyarakat. Saya menginjak akhir 1 SMA waktu itu dan dia, seingat saya baru kuliah tingkat satu. Kami tiba-tiba menjadi adik-kakak yang akrab. Hingga kini, saya kuliah semester 3 dan dia semester 7, kami masih jadi adik-kakak, meski intensitas ngobrolnya gak sesering dulu.


Dulu, saya mampir ke akunnya hampir tiap saya online, alasannya ya cuma dua, dia punya kedekatan psikologis dengan saya dan saya gak punya akun lainnya yang jadi bacaan sehari-hari buat melihat dunia di luar dunia saya. Banyak yang saya pelajari dari dia; agama, orang tua, pelajaran sekolah, dan masih banyak lagi. Saya menganggap ini jadi sebuah aktivitas yang menyenangkan. Ya gimana engga? Sejak saya baca tulisan-tulisannya dia, saya jadi tahu dua sudut pandang; laki-laki dan perempuan.


Lama-lama, saya mulai sadar kalau ternyata nama-nama orang keren yang saya baca di Horison (Horison itu majalah sastra yang SMA saya langgani, kalo ada yang gak tau) itu juga ada di Facebook. Sejak itulah saya mulai banyak stalking tulisan-tulisan orang-orang ini via Facebook, saya juga berteman dengan beberapa penyuka sastra dan penulis-penulis yang sering update statusnya saat itu, meski pertemanannya hanya sekilas saja, sebab saya lebih banyak bacanya ketimbang wara-wiri bersapaan dengan mereka.


Makin lama usia Facebook saya, makin banyak pula akun yang saya stalking; Ka Dara, Bang Hari, Om Dhimas, Ka Subi, Ka Bibil, Si Hamid, Ka Reza, Ka Galah, Si Intan, Ka Lukita waah banyak :p


Loncat ke Twitter
Saya kenal jejaring ini akhir tahun 2009, asalnya bikin akun karena cuma ikut-ikutan. Padahal sama aja gaptek entah gimana makenya. Hehe. Tapi seiring berjalannya waktu, cucuitan ini rame juga. Apalagi akun Twitter biasanya gak ada akun Fake yang mengatasnamakan orang terkenal, jadi kalo nemuin akun orang terkenal, biasanya itu asli.

Ini saya dapati juga waktu menemukan akun-akun sastrawan atau pemikir keren yang bertebaran di muka bumi. Hehe. Updatenya asli dari mereka, bukannya ada orang yang ngupdate atas nama mereka.

Akhir-akhir ini saya lebih sering mampir ke Twitter daripada ke Facebook. Mungkin karena jenuh atau juga saya memang kepingin cari atmosfir baru aja dengan loncat ke Twitter. Entah sih.Mungkin kayak gitu alasan yang paling mungkin.
Tapi di Twitter juga ada beberapa akun yang saya stalking. Alasannya? Ya jelas itu tadi. Karena tulisannya bagus, menggugah, bikin saya tersenyum, bikin saya mikir, bikin saya merenggut dst. 

Di Twitter, sekitar sebulan yang lalu, saya dikenalkan Ka Subi pada beberapa temannya yang pinter-pinter tapi agak 'nyeleneh'. Mereka punya nama grup gitu. Tapi gak baguslah kalo saya tulis disini (soalnya namanya agak gimana gitu ._.)

Bicara soal mereka, saya senang sekali membaca cuitancuitannya. Padat, cerdas dan suka bikin saya gak habis pikir: mereka mengelak dengan cara yang cerdas, begitu saja membalikan keadaan. Tentu saja ini saya setujui karena tujuannya cuma main-main, hiburan dan becanda. Kalo ilmu ngelak semacam ini dipakai di dunia nyata buat berkelit dari kesalahan sih bahaya juga. Hehehe.

Pada Kemana?
Tapi akhir-akhir ini, saya jadi agak sedih karena list stalking saya berkurang. Sebab apa? Sebab mereka ga memposting apa-apa dalam waktu yang lama, mereka ga ngobrol lagi, ga update status lagi, ga ngtwit lagi. Saya jadi sedih kehilangan daftar bacaan berbobot di socmed.Saking sedihnya, saya pasang status gini di Facebook

Rasanya udah jarang banget nemu tulisan yang bikin saya bilang "Nah!", "Gila. Kepikiran ya, ni orang." atau berlama-lama senyum-senyum sendiri.
Bisanya saya stalking belasan penulis keren di socmed. Sekarang cuma nyisa dua biji: ka Lukita sm Ka Subi.
Kemana para penulis keren yang biasanya saya stalking?
Mereka sudah gamenulis di socmed karena gadibayar kah?
._.
*Mendadak sedih
Nah, kan. saya jadi sedih. Tolong dong kalo diantara kalian, yang saya stalking, baca posting ini, tolong update lagi, tolong ngetwit lagi. Sebab social media rasanya garing tanpa kalian. Heheh.
Sakit yang Menjadi Candu
Bagi saya, jadi stalker itu adalah pesakitan yang menjadi candu. Kenapa candu? Gini ya, saya itu punya sikap yang relatif stagnan dan sulit lapur, jadi kalo sudah menemukan sesuatu yang match dengan diri saya, saya akan berjuang untuk tetap menjadikannya dekat saya, terpantau saya, kelihatan oleh saya, dst. Begitu pula pada orang yag saya stalking, mereka itu candu, yang sekali direguk, terus-terusan nagih untuk direguk.
Terus kenapa sakit? Nah, rasa sakit itu muncul dari rasa kehilangan. Ketika mereka berhenti posting, berhenti nulis, saya jadi merasa kehilangan. Merasa sendirian. Terdengar berlebihan sih, tapi ini serius.

1 comment:

Erga said...

meding mulai cari penggatinya di blog2. tapi emang harus rajin googling. terkadang sesuatu yang hilang mudah tergantikan dengan sesuatu yang baru tapi dengan rasa yang sama.