Sunday, October 23, 2011

Ding, Kematian dan Cerita Masa Itu

Ding, aku sudah membaca suratmu kemarin.
Aku sedih, Ding, membacanya. Kau bilang negeri kita sudah jadi riak diterpa ombak. Hihihihi.
Aku tertawa? Tentu saja, caramu menggambarkan negeri kita sudah sama seperti anak-anak SD yang menggambar dunia seolah-olah hanya ada satu matahari, dua gunung, jalan berkelok, sawah dan petani.



Ah! Aku tiba-tiba ingat percakapan kita di Ikomah hampir 20tahun yang lalu. Kau bilang aku absurd karena menganggap remeh karya anak SD. Dan aku sendiri bersikukuh mereka tak kreatif atau apalah.
Satu yang membuat aku terkejut, waktu itu kau menepisku dengan filsafat! Kau lalu menjelaskan perihal satu matahari, dua gunung, jalan berkelok, sawah dan petani yang aku bilang tadi. Mereka cuma simbol, kalau pusat kehidupan kita ada keesaan Ia Yang Maha Segalanya, kalau akhir dari kita hanya surga dan neraka yang nyata, kalau hidup ini tak sesempurna yang kita bayangkan sebelumnya, kalau sekumpulan manusia yang searah dan seirama akan membentuk harmoni, kalau segala yang kita tanam akan kita tuai sendiri.

Aku mulai mencintaimu, Ding. Saat itu.

Aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku sendiri, beberapa hari kemudian.

Tebak apa yang aku rasakan waktu berpelukan dalam toga, ketika aku menyampaikan maksudku untuk menikahkanmu dengan Mur, adik semata wayangku yang kau sukai itu, lalu kau menolak untuk itu. Aku patah hati, Ding. Aku menginginkan Kau dan Mur bahagia, lengkap kebahagiaanku jika kalian menjadi satu. Aku kecewa waktu kau bilang, Mur lebih pantas bersanding dengan orang yang mampu membahagiakan Ia dan anak-anaknya kelak. Apa kau pikir Mur takkan bahagia bersamamu, Ding? Ia mencintaimu! Bahkan lebih dari aku.

Terlepas dari kekecewaanku padamu tentang Mur, aku tidak bisa balik ke negeri kita yang indah itu, Ding. Apalagi dengan keadaan seperti yang kau ceritakan. Bukan aku tak merindukan cekikik atau gelegar tawa kita yang membelah malam, bukan aku tak merindukan langkah-langkah kaki kita yang terseok karena terlalu capek mendaki gunung-gunung dan lembah-lembah negeri kita. Aku tahu benar, manusia-manusia disana bisa memburu kepalaku untuk bahan pajangan seperti keramik porselen.
Tapi bukan berarti aku tak kembali, Ding. Aku tentu saja akan kembali saat mereka lengah, untuk mengambil hakku yang mereka akui milik mereka. Engkau tenanglah, Ding. Aku selalu kirim uang untuk kau, istriku dan anak-anakku. Aku takkan membiarkanmu kelaparan selama Kau mau berpura-pura patuh pada mereka.
Aku berharap kau mengerti, Ding.


-----------------------------------------

Lelaki itu melipat suratnya. Tangan kirinya mengambil sebuah resi bank yang bertuliskan 400.000$ atas nama Gading Suparpriatmo, lalu memasukan keduanya ke dalam amplop. Tangannya bergetar dan keringetan. Padahal Rotterdam dingin sehabis hujan.
Ia beranjak ke tempat tidur dengan sepucuk pistol buatan Inggris ditangannya. Ia merasa ingin tidur. Lelap sekali.

-----------------------------------------


DORRRRRR!



No comments: